Sebastian
Saya mengenal Sebastian sebagai pribadi yang menyenangkan. Ia kini pergi jauh, mengikuti ayah dan bundanya yang bekerja di kota yang entah saya tak tahu apa namanya. Dahulu, saat ia mengatakan kepada saya, ia menangis tak jelas berucap. Setelah lega meluapkan emosi dirinya, ia berkata jika ia sangat kehilangan sosok sahabat. Diri saya. Dan saya pula mengatakan jika Sebastian menjadi saudara sekandung kandungnya. Saya mendengar berita, selentingan kabar, Sebastian meninggal. Karena kecelakaan maut di jalan raya, di kota kami dibesarkan bersama, di kota ini.
Oh Tuhan, benarkah sahabat kecil saya meninggal?
Lalu, setelah dua puluh tahun perpisahan itu, mengapa ada kabar jika ia berada di kota kami. Kota yang menjadi tempat bermain kami? Tak adakah niat dirinya untuk sekadar berkunjung ke rumah saya? Dan kabar itu benar benar menjadi pukulan berat bagi saya. Sebastian, sahabat kecil saya.
Kami tak sempurna. Pelajaran yang ibu guru berikan selalu menjadi gurauan bagi kami.
'Bumi tak bulat. Kalau bulat, lebih enak makan kue bikinan mama. Buat dilempar ke bu guru pasti jidatnya benjol.'
Sebastian selalu membuka percakapan nakal. Saya pun membalas. Tapi, saya mengakui jika sahabat saya itu cerdas. Mempermainkan perkataan ibu guru yang kaku, menjadi suatu humor yang membuat saya terpingkal sekaligus berpikir.
'Bastian, kau tahu tidak. Pelajaran Matematika tadi, dikatakan bilangan prima adalah bilangan yang tidak habis dibagi bilangan lain kecuali bilangan itu sendiri. Aneh bukan?'
'Sangat aneh. Bagaimana bisa bilangan disebut prima. Prima menurutku harus punya kekhasan.'
'Apa itu?'
'Prima itu pandai memasak dan mengeja huruf latin.'
Ah, percakapan yang bukan anak anak. Kami bukan anak kecil lagi. Antara dewasa dan masa kecil tak ada bedanya. Yang berubah adalah waktu.
(Apakah percakapan dua orang anak harus seperti anak ingusan yang masih gemar menetek bundanya. Atau dua orang dewasa tak boleh saling bercerita dengan bahasa kekanak kanakan.)
Saya mencari Sebastian. Semoga saja berita kematiannya tak benar. Tapi, kabar jika ia berada di kota ini benar adanya. Hingga saya pun bertemu dengan dirinya. Untuk bercerita kembali, atau kami akan bersepakat membangun usaha yang menghidupi anak temurun kami masing masing.
Di jalan ini saya berjanji, jika Sebastian masih hidup: saya buatkan secangkir teh manis hangat kesukaannya. Dan kuperkenalkan dengan keluarga kecil saya, istri dan dua anak saya. Lalu saya menanyakan bagaimana dengan keluarga dirinya. Mulai dari itu dahulu. Kami bercakap.
Post a Comment