Sastra Ban Gembos, Sastra Sakit Jiwa
Mengejar hari, menjemput mimpi. Perih, lama menanti, capai dalam obsesi. Tersungkur oleh impian membahana, tegak kembali oleh semangat yang entah siapa menyuntikkan. Kupersiapkan diriku untuk menerima segala risiko. Buncah, lemah, tak kuasa, emosi, antipati, rengekan, harus kuatur dengan hati yang terbuka. Inilah hidup baruku yang harus kusebut apa.
Kreativitaskah ini? Belum layak disebut seperti itu. Ide hebat hanya dipunyai Michaelangelo, Da Vinci yang hebat itu, atau penulis sepanjang masa. Aku masih di luar, melihat dari jendela, orang-orang besar itu tengah berdiskusi di ruang sempit gelap. Mereka berbisik dengan suara yang diatur bak pemilihan senator Romawi. Aku berhasil mendengar meski dalam sedikit nada. Kugabung-gabungkan dengan susah payah, aku berhasil mengambil simpulan: Mereka akan melakukan makar.
Tembok itu harus kuhancurkan, menodong mereka sebelum polisi mendahului. Akulah yang pertama kali mencegah kebrutalan para jenius agar mereka tidak merusak dunia. Kuterima lencana kebesaran atas keberanianku menghilangkan benih teror di negeri ini. Rindunesia yang bijak tanpa berkedip-kedip matanya.
Tidur kukurangi, mimpi buruk berkurang pula. Malaikat Malam kuketuk hatinya, berharap ia bersahabat denganku. Mentransfer kalimat-kalimat bijak yang akan kujual ke penerbit buku-buku filsafatku. Pasti uang mengalir deras yang nantinya kusalurkan kepada orang miskin tanpa sepeser pun aku terima. Inti hidup yang kuterima dari sang malaikat, bukan dariku semata.
Hamparan buku menyedihkan ada di depan mukaku. Aku rakus untuk memerkosai mereka. Berharap segala pemikiran bisa kutampung di otakku yang mungil ini. Segala petuah-petuah orang besar kuadopsi untuk kujual, sekali lagi, ke penerbit bermutu yang menyanjung sebuah idealisme. Kututup-tutupi pengaruh besar orang-orang yang pemikirannya kubaca, memperkenalkan karakter diri yang telah terbentuk. Tertawa terkekeh mendengar puja-puji para gladiator bahasa di meja redaksi, menerima karya fenomenalku untuk menyita perhatian para pembaca. Dunia sastra tunduk kepadaku.
"Sastra itu penting. Kupatok tarif 25 juta dalam satu jam penampilan melankolisku."
Bak peragawati berdenting telepak kaki cantiknya di panggung kehormatan, aku merajai seluruh acara. Mata-mata bodoh melototiku takjub, berharap kejutan kulakukan. Dan memang benar, aku melakukan sesuatu. Memutuskan untuk berhenti dari bisnis penulisan cabul ini. Aku sudah lelah dengan perilaku bisnis menjual buku a la artis sinetron. Percuma aku memiliki manajemen artis, aku sudah muak. Mereka mengambil hak kreatifku, membunuhku dengan gegap gempita hingga kutenggelam di dalam ketenaran.
Selamat tinggal kejumawaan. Sastra kehilangan gelombang penyapa hati, datanglah badai kerusuhan.
Kreativitaskah ini? Belum layak disebut seperti itu. Ide hebat hanya dipunyai Michaelangelo, Da Vinci yang hebat itu, atau penulis sepanjang masa. Aku masih di luar, melihat dari jendela, orang-orang besar itu tengah berdiskusi di ruang sempit gelap. Mereka berbisik dengan suara yang diatur bak pemilihan senator Romawi. Aku berhasil mendengar meski dalam sedikit nada. Kugabung-gabungkan dengan susah payah, aku berhasil mengambil simpulan: Mereka akan melakukan makar.
Tembok itu harus kuhancurkan, menodong mereka sebelum polisi mendahului. Akulah yang pertama kali mencegah kebrutalan para jenius agar mereka tidak merusak dunia. Kuterima lencana kebesaran atas keberanianku menghilangkan benih teror di negeri ini. Rindunesia yang bijak tanpa berkedip-kedip matanya.
Tidur kukurangi, mimpi buruk berkurang pula. Malaikat Malam kuketuk hatinya, berharap ia bersahabat denganku. Mentransfer kalimat-kalimat bijak yang akan kujual ke penerbit buku-buku filsafatku. Pasti uang mengalir deras yang nantinya kusalurkan kepada orang miskin tanpa sepeser pun aku terima. Inti hidup yang kuterima dari sang malaikat, bukan dariku semata.
Hamparan buku menyedihkan ada di depan mukaku. Aku rakus untuk memerkosai mereka. Berharap segala pemikiran bisa kutampung di otakku yang mungil ini. Segala petuah-petuah orang besar kuadopsi untuk kujual, sekali lagi, ke penerbit bermutu yang menyanjung sebuah idealisme. Kututup-tutupi pengaruh besar orang-orang yang pemikirannya kubaca, memperkenalkan karakter diri yang telah terbentuk. Tertawa terkekeh mendengar puja-puji para gladiator bahasa di meja redaksi, menerima karya fenomenalku untuk menyita perhatian para pembaca. Dunia sastra tunduk kepadaku.
"Sastra itu penting. Kupatok tarif 25 juta dalam satu jam penampilan melankolisku."
Bak peragawati berdenting telepak kaki cantiknya di panggung kehormatan, aku merajai seluruh acara. Mata-mata bodoh melototiku takjub, berharap kejutan kulakukan. Dan memang benar, aku melakukan sesuatu. Memutuskan untuk berhenti dari bisnis penulisan cabul ini. Aku sudah lelah dengan perilaku bisnis menjual buku a la artis sinetron. Percuma aku memiliki manajemen artis, aku sudah muak. Mereka mengambil hak kreatifku, membunuhku dengan gegap gempita hingga kutenggelam di dalam ketenaran.
Selamat tinggal kejumawaan. Sastra kehilangan gelombang penyapa hati, datanglah badai kerusuhan.
Post a Comment