A Black Soul
Beberapa jam aku berada dalam kamar itu, tak ada teman untuk sekadar mengobrol, belum datang pula secangkir air yang sebelumnya aku memosisikan diri sebagai narapidana. Aku masih menunggu barangkali orang lain sudi mampir dan menyalakan senter kepadaku. Membuat mataku terbelalak. Tapi tak ada yang datang, hingga aku kembali terduduk lemas. Kaki dan mukaku menyatu, sembari punggungku merasakan dinginnya tembok. Tiba-tiba aku merasakan benda kecil bergerak-gerak menyentuh kakiku. Aku merasakan sesuatu seperti bulu tapi ini sungguh mengganggu. Aku mencoba menyentuhnya, meraba-raba di mana ia berada. Alangkah terkejutnya aku, ternyata itu adalah seekor kecoa, binatang yang sungguh aku benci. Hampir seluruh hidupku kuhabiskan oleh umpatan jikalau melihat binatang menjijikkan itu di sudut kamar mandi atau di dapurku. Aku terlonjak dan langsung berdiri. Aku melompat-lompat, menjejak-jejakkan kakiku secara brutal seolah ingin mengakhiri hidup kecoa itu. Tapi aku sepertinya tak berhasil karena tak ada bunyi kecoa mati yang telah akrab di telingaku. Juga tak terdengar bunyi “kruk” diikuti cipratan getah tubuh kecoa yang baunya membuatku ingin muntah. Aku menghela napas tanda aku telah bebas dari penderitaan yang serasa tak pernah berakhir, selalu berjumpa dengan kecoa bangsat itu. Sepertinya kecoa itu hanya memberikan salam perkenalan kepadaku. Ia mungkin saja merupakan penghuni tetap ruangan gelap ini. Aku mencoba berpikir sedikit nalar kali ini, bahwa sebetulnya aku hanya menumpang di sini. Bukan tempatku sendiri. Kalau tempatku sendiri bolehlah aku bertindak otoriter, tapi aku berada di rumah orang lain, apakah aku bisa seenaknya menjadi diriku sendiri. Ah, aku memang terus saja menjadi anak-anak.
Musik itu berganti ritme, kali ini iramanya sedikit melembut dan mulai akrab di telingaku. Aku tak lagi membayangkan diriku berada di kamar gelap. Namun kali ini aku berada di sebuah kamar mewah. Bau kamar itu penuh dengan wewangian, sungguh terang dengan warna yang berwarna-warni. Bunga-bunga menghiasi ranjang tidur berwarna putih dengan selambu berhias entah motif apa. Aku mendekati ranjang itu. Tak ada tanda-tanda bahwa kamar itu berpenghuni. Tak ada sedikit pun suara. Dan, musik pun berubah.
Aku menggoyangkan kepala, tangan, dan pinggul. Mengikuti irama yang kali ini sungguh ceria, hatiku pelan-pelan tak merasa sendiri. Sendiri di ruang gelap, ataupun sendiri di ruang terang. Aku terus saja mengolah tubuhku sampai sesuai dengan irama musik. Tak peduli lagi apakah berbagai mata mengintipku tanpa sepengetahuanku. Aku berputar sembari tetap menjaga posisi tubuhku agar stabil. Hidupku harus selalu ceria, seperti tawaran musik itu. Irama kebebasan yang menuntutku untuk kuat menempuh hidup dan menanggung semua konsekuensi atas pilihanku. Apapun nanti yang kelak aku ambil kembali, tak ada penyesalan dalam diri ini. Karena aku sadar, semua adalah hasil kompromiku dengan hati, dan semoga hatiku selalu dalam bimbingan Tuhan. Andai sang pemilik hidup belum menyetujui proposal yang aku ajukan, aku akan kembali melatih diriku untuk tetap tegar dan terus mencari.
Hidup sebenarnya indah apabila kita mengetahui seni mengarungi hidup. Berani hidup maka serta merta mati akan mengikuti kita, dan kita harus siap di antara keduanya. Tuhan tidak akan pernah menyuguhkan sesuatu yang indah, sebelum kamu merasakan kepahitan dalam hidup. Tuhan tidak pula memberikan kepahitan yang bertubi-tubi, karena Dia tahu bahwa kita juga berhak atas manisnya hidup. Maka bersiap-siaplah untuk menerima berbagai kejutan hidup. Siapkah kita?
Post a Comment