Header Ads

Balada Gadis Tambun

    Gadis tambun makin mantap untuk menempuh jalan pintas. Tak ada jalan lain lagi selain mengikuti kata hati terakhirnya. Tak peduli ocehan orang sekitarnya, acuh terhadap semua omongan yang terus saja memojokkannya. Semua membuat kepalanya serasa pecah, hingga dia memutuskan untuk mengakhiri penderitaan ini.

    Sering kali dia menerima umpatan yang menyakitkan; gadis bulat tanpa ayah, tak berakta kelahiran, hasil perselingkuhan tingkat tinggi, atau hal-hal lain yang setiap hari berputar-putar di kendang telinganya. Dia tak lagi mementingkan status dirinya yang memang anak seorang pelacur atau apalah julukan orang lain bagi ibunya. Dia tak memedulikan siapa ayah biologisnya, toh dia bisa menyapa sepuasnya lelaki dewasa dengan sebutan ayah. Apa bedanya mempunyai ayah atau tidak? Tuhan Maha Baik dengan memberikan kelonggaran bagi siapa saja yang mau dipanggilnya sebagai ayah. Tapi ada satu hal yang membuatnya dia harus memutuskan secepatnya. Ini masalah kelangsungan hidup, harga dirinya, kekuasaannya yang kelak dia rengkuh.

         Dia kembali berpikir sejenak dan mengalihkan perhatiannya dari gunting ke seutas tali tambang di pojok kamarnya. Ya, dia sekarang berada di depan cermin meja riasnya. Tak peduli lagi dia dengan bedak, gincu, pelembab, ataupun minyak zaitun penghalus kulitnya, saat ini dia lebih tertarik pada tali tambang yang seakan mengilat di pelupuk matanya. Batinnya ingin dia mengambil tali itu, menjadikan hiasan lehernya. Dan akan dia tunjukkan kepada tetangga-tetangga biadabnya, bahwa dia juga berhak hidup. Tapi dia mengurungkan niatnya untuk bermain dengan tali tambang itu. Dia masih mempunyai hasrat menggebu. Dan harus diakhiri malam ini.

         Malam makin larut, nyamuk pun mulai bersenandung. Melantunkan nyanyian merdu yang haus darah. Serangga-serangga tak berperikemanusiaan itu seperti kalap ketika melihat tubuh segar gadis tambun di depan cerminnya. Ada sebotol minyak pembunuh serangga di bawah meja riasnya. Kebetulan kakinya yang gemetaran menyenggol tabung pembunuh nyamuk, semut, dan sejuta serangga lain. Kaki gempalnya membujuk dua tangan untuk berdamai; sekadar memegang tabung itu, mengisinya ke alat semprot, lalu memompa alat itu. Membunuh nyamuk-nyamuk yang sering kali menyiksa dengan gigitan-gigitan mautnya. Atau bisa saja dia menggunakan minyak pestisida itu untuk tujuan lain?

         Musik menghentak terdengar dari kamar kontrakan sebelah. Alunannya memecah kebisuan dan membuat gadis tambun itu menyadari bahwa dia terlampau termakan lamunan. Dia lantas memegang sebuah gelas. Ada beberapa pil di meja rias. Kali ini harus berakhir.

         “Tuhan berilah aku kekuatan untuk menjalani semua ini. Aku sudah tak kuat lagi, aku tak mampu lagi membiarkan hati ini membusuk oleh ocehan para begundal najis di kompleks ini. Berilah kelancaran ketika aku memuluskan niatku ini. Ya, Tuhan, aku sadar aku banyak kekurangan, tapi biarkan aku memilih hidupku sendiri. Lepaskan sedikit kuasamu dan berilah aku waktu untuk menentukan pilihan. Lalu setelah itu kulepaskan kembali kepadamu. Aku rela jika keputusanku tak berkenan di hadapanmu, aku akan mencoba hal lain.”

            Dia pun mengangguk. Antara pasrah dan yakin.

            Dua butir pil berwarna merah muda.

            Pelancar buang air besar alias urus-urus.

            Sudah dua hari dia tak bisa buang air besar.

            Dan dia berharap dengan berkurangnya cairan di tubuhnya, serta merta bobot tubuhnya juga berkurang. Mencret serbaguna tiada tara. Lepas semua beban.

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar